Cerita Senja dan Banyu: 12. Tato Pertama Banyu

Aku senang melukis sejak kecil. Bagiku, melukis terasa seperti menuangkan teh hangat dari sebuah teko panas ke sebuah cangkir yang cantik. Menuangkan segala yang panas, hingga akhirnya perlahan menghangat, kemudian mendingin. Kurang lebih, rasanya seperti menuangkan segala isi kepalaku ke sebuah media kosong. Akan tetapi, aku belum pernah membayangkan seseorang melukis di tubuhku–berbeda dengan Banyu yang ingin tubuhnya dipenuhi oleh lukisan. Tiga tahun lalu, Banyu memperoleh tato pertamanya.

“Besok kamu harus temani aku.” Ucapan Banyu membuyarkan lamunanku. Saat itu, kami tengah duduk di tepi pantai untuk seperti biasa melihat senja yang memudar.

Bertelanjang kaki, sesekali aku memainkan pasir-pasir halus dengan jari-jemari kakiku. “Ke mana?” tanyaku sambil tetap memainkan pasir.

“Temanku baru pindah ke sini. Dia baru buka studio tato. Namanya Jamal.” Tiba-tiba Banyu pindah posisi. Ia duduk di belakangku, kemudian menyandarkan kepalanya di punggungku. 

“Kamu mau mampir ke studio tatonya?” Kini, gantian jari-jemari tanganku yang memainkan pasir-pasir yang ada di samping tempatku duduk. Aku bisa merasakan hembusan nafas Banyu yang menembus terusanku yang tipis.

Aku memejamkan mata. Kadang Banyu bisa begitu manja. Jika tidak menidurkan kepalanya di pahaku, ia akan memilih menyandarkan kepalanya di bahuku, atau seperti sekarang ini, ia menyandarkan kepalanya di punggungku. 

“Nggak. Aku nggak akan sekadar mampir. Jamal mau memberikanku sebuah tato gratis.”

Mataku mengerjap-ngerjap. Aku cukup terkejut. Baru kali ini aku tahu bahwa Banyu menginginkan tato di tubuhnya. “Tato pertama, ya? Kamu sudah tahu mau tato apa?”

“Iya. Pertama. Sepertinya aku mau meminta tato pohon rindang yang besar di punggungku.”

Besar? Punggung? Jujur saja, aku sedikit ngeri membayangkan betapa Banyu akan kesakitan karena jarum tato tidaklah tumpul. “Sebentar. Gantian. Aku mau menidurkan kepalaku di pangkuanmu.” Aku membalikkan badan. Banyu mengubah posisi duduknya. Kini giliranku yang bermanja-manja.

“Menurutmu bagaimana?” Banyu menyusupkan jari-jemarinya ke dalam rambutku. Semoga saja jari-jemarinya tidak tersesat–atau setidaknya, tidak membuat rambutku kusut. 

“Kamu nggak takut? Pasti sakit, kan…” Aku memejamkan mata. Cara Banyu membelai kepalaku benar-benar membuatku mengantuk.

“Entahlah. Aku merasa harus membuatnya. Jadi, besok temani aku, ya.”

“Jam berapa?” Sebentar lagi, aku pasti akan tertidur.

“Sebangunnya kamu saja. Nggak usah buru-buru.”

*

Keesokan paginya, entah bagaimana, aku bangun cukup pagi.

“Aku sudah bangun,” ujarku pada Banyu di telepon. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi dan aku belum mandi.

“Kamu mau berangkat sekarang?” tanya Banyu di seberang sana.

“Kamu sudah sarapan?” Aku membuka mulutku beberapa kali. Ternyata aku masih mengantuk.

“Belum. Tapi Jamal bilang, kita bisa sarapan di studionya.” Aku bingung juga. Aku penasaran bagaimana rupa Jamal, seperti apa orangnya. Banyu kan tidak mudah akrab dengan orang lain, tapi sepertinya Jamal benar-benar bisa membuatnya akrab dan santai.

 *

“Kamu pasti Senja. Banyu sering cerita soal kamu.” Jamal mengulurkan tangan. Wajahnya khas Timur Tengah. Entah apakah dia memang asli orang Timur Tengah atau tidak.

“Iya, aku Senja. Salam kenal. Banyu sering cerita soal apa?”

Jamal mengembangkan senyum. Hidungnya terlihat makin mancung. “Banyak. Intinya, kamu spesial. Dan kayaknya kita bisa cepat akrab. Aku juga suka melukis. Bedanya, aku lebih suka melukis di tubuh manusia daripada di kanvas.”

Sepertinya Banyu benar-benar akrab dengan Jamal.

Selama punggungnya ditato, Banyu hanya diam. Ia tidak terlihat kesakitan sama sekali. Ia malah tampak menikmatinya. Sementara aku mengobrol banyak dengan Jamal. Ternyata ia baru saja pindah dari Yogya. Di kota kecil ini, dia ingin mencari suasana baru. Awalnya aku kira ia kabur dari sesuatu atau patah hati, tapi ternyata tidak juga.

Dan tatonya memang benar-benar indah. Banyu amat puas dengan hasilnya, begitu juga denganku. Baru memandanginya saja, aku sudah bisa membayangkan diriku berada di bawah pohon rindang itu. Benar-benar meneduhkan dan terlihat begitu aman.

2 thoughts on “Cerita Senja dan Banyu: 12. Tato Pertama Banyu”

  1. Waaaa ini greget kayak biasanya nih hehehehehe
    Btw tato yang kemarin di kaki bukan yang pertama berarti mbak? Kan di seri 11 ngasih tunjuk tato baru di kaki kan ya? Hehehe
    Nyabung kan ya 11 sama 12? Eh apa nggak nyambung ya? Eh apa gimana sih? Hehehe

    1. Yaaaay! Senang kalo udah dibilang greget hehehehe
      Nah, untuk ceritanya ini nggak urut, Mas..jadi waktunya beda-beda 🙂 Hihihi… Sengaja dibikin alurnya maju mundur. Tato di betis Banyu itu tato kesekian… tato pertamanya yang di punggung. Btw, coba deh liat twitnya @senjamoktika. Di situ ada banyak ceritanya juga ^^

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *